Tuesday, May 30, 2006

Bencana Yogya dan Pikiran Kotor Saya

Bencana memang selalu datang tidak terduga, seperti yang terjadi di Yogya akhir pekan lalu.
Saya ingat betul pagi itu saya sedang bersiap pergi ke luar kota dengan nenek saya, dan ada tag-line dari pembaca berita yang mengatakan:
"Pemirsa, baru saja kami mendapat informasi tentang gempa yang cukup besar yang terjadi di Yogya, informasi selanjutnya bisa ada saksikan...."
that's all.
Seharian itu saya tidak mendapatkan informasi tambahan mengenai gempa di Yogya. Perjalanan Jakarta-Bandung-Sumedang-Ciranjang, Cianjur-Jakarta cukup menyita tenaga dan perhatian saya.
Saya agak tertegun ketika pada malam hari istri saya memberitahu ada sekitar 3.000 lebih korban dari gempa di Yogya itu. "Dahsyat juga gempanya..." begitu pikiran saya.
(Data per Selasa, 30 Mei 2006 jam 0700 dari Departemen Sosial yang saya kutip dari Detik.com menyebutkan ada 5.421 korban jiwa. Rinciannya bisa dilihat disini)
.....
Kemarin, seorang teman saya yang tinggal di daerah Ciputat misuh-misuh, karena dalam perjalanan ke kantor banyak sekali organisasi-organisasi yang meminta sumbangan untuk disalurkan ke yogya. Mereka berdiri di tengah jalan, memegang kardus yang tidak terlalu besar dengan tulisan, yang kurang lebih isinya adalah: program peduli yogya...atau seperti itu lah.
"Emangnya bener mau disalurin ke yogya gitu? bikin macet jalan iya, duitnya nggak jelas mau dikemana-in..." Begitu pertanyaan sinis dia.
Mau tidak mau, saya sedikit terusik juga oleh pertanyaan sinis dia.
Seberapa besar kapabilitas organisasi-organisasi itu untuk menyalurkan bantuan kepada rekan-rekan kita di yogya? Apakah nanti bantuannya merata? Atau jangan-jangan (maaf kalau saya berpikiran kotor) yang disumbangkan hanya sebagian kecil daripada jumlah yang diberikan oleh para pengguna jalan...
Bagaimana meyakinkan orang lain untuk mempercayakan orang lain untuk ikut menyumbang?
Program peduli seperti itu harus juga disertai infrastruktur transparansi yang memadai.
Televisi atau koran mempunyai cara agar para pemirsa menyumbang lewat mereka. Kalau di TV, stasiun yang bersangkutan bisa menayangkan perkembangan dana sumbangan yang telah masuk lewat tayangan mereka, koran juga bisa berbuat seperti itu. Untuk pertanggung-jawabannya, mereka biasanya membuat liputan khusus atau tayangan khusus penyaluran bantuan. Dengan demikian, pemirsa dan pembaca mereka bisa diyakinkan untuk menyumbang. Masalah percaya atau tidak, itu mungkin urusan lain. Yang harus digaris-bawahi adalah adanya upaya untuk menyediakan infrastruktur tranparansi.
Apa yang terjadi kalau ternyata pihak-pihak yang ingin mengadakan progam peduli itu tidak mempunyai infrastruktur seperti tv atau koran tadi?
Kalau kasusnya yang menyebar kotak di jalan seperti di atas tadi, yang bisa dilakukan adalah.
Pertama adanya kontak nomor telepon, email atau sarana komunikasi lainnya milik individu yang bertanggung-jawab dalam pelaksanaan program itu.
Misalnya saja diatas tulisan Program Peduli Yogya yang ditempel pada kotak sumbangan ada juga tulisan: Hubungi Blognya Roi Untuk Mengetahui Aliran Dana Anda di Nomor Telepon 08128123***. Memang tulisannya kepanjangan sehingga mungkin jadi kecil, tapi selama tulisan itu bisa terbaca oleh yang menyumbang, hal maka itu bisa menjadi nilai tambah karena orang yang menyumbang bisa melakukan konfirmasi langsung.
Kedua Data rekapitulasi dana harian dan rinciannya harus ada, sehingga orang yang menyumbang bisa mengetahui bahwa panitia program peduli dana itu juga melakukan kerja dengan sepenuh hati serta mengerjakan hal itu dengan baik dan benar. Dan bukan sekedar mengasongkan kotak sumbangan saja.
Ketiga jangan ragu-ragu untuk memberikan informasi mengenai aliran dana yang telah didapat, misalnya saja seperti: Sebagian Dana Sumbangan Anda Akan Digunakan Untuk Memberangkatkan 150 Relawan Medis dan Logistik ke Bantul, Sleman, dan Yogya pada hari ... atau Sumbangan Anda Akan Sepenuhnya Kami Salurkan Melalui Kerjasama Dengan .....
tranparansi, tranparansi, dan transparansi
Mungkin itu kunci utama untuk mendapatkan kepercayaan orang lain.
5.000 jiwa bukan jumlah yang sedikit, ada anak-anak terlantar, orang tua yang menjadi tunawisma, pelajar yang putus sekolah, jiwa yang terkoyak, dan masyarakat yang menjadi cacat. Setiap bantuan, apa pun bentuknya, pasti sangat berguna buat mereka.

perkembangan informasi proses pemulihan di yogya bisa dilihat antara lain di Gempa Jogja, media center, dan Commonroom Network.

Wednesday, May 17, 2006

internet

Pagi ini, saya kembali dibuat takjub oleh teknologi yang namanya internet ini. Teknologi yang bisa membuat kita semua merasa dekat kembali, bisa memicu hormon pengingat di pikiran kita.
Saya sudah lama punya keanggotaan Friendster, tapi berhubung di kantor Friendster di blok, jadi saya amat sangat jarang mengakses situs itu. Saya baru bisa mengakses Friendster dari luar kantor dan kalau ada kesempatan yang sangat longgar, seperti sekarang ini, saat saya cuti dari kantor.
Log-in ke Friendster, dan klik sana klik sini, akhrinya sampai di profile teman-teman waktu SMA dan kuliah. Waahh... tersebar semuanya....
ada yang masih kuliah di Jerman, ada yang sibuk di perusahaan tambang di mongolia sana, ada yang lagi nunggu momongan, ada yang programmer di Aussie sana, berbagai kabar berseliweran.
Dan rasa-rasanya dulu saya nggak kepikiran kalau mereka bisa jadi seperti ini sekarang.
Bless you all my friend
SMPN 2 Bandung 1988-1991
SMAN 1 Bandung 1991-1994
Teknik Sipil Itenas Angkatan 94

...
Karena hari ini yang akan kita rindukan
Di hari nanti sebuah kisah klasik untuk masa depan
...

(SO7)

Tuesday, May 09, 2006

(my) sanctuary

Saya sudah lama nonton Series of Unfortunate Event yang dibintangi Si Muka Karet Jim Carrey. Film itu merupakan film-film perkenalan saya terhadap film drama Hollywood, sebuah genre film yang bakal saya tonton paling akhir kalau tidak 'dicekoki' oleh istri saya.
Selain film itu, ada film drama lain yang dibintangi oleh Jim Carrey, yang juga cukup 'kena' buat saya sebagai penggemar film partisan: Eternal Sunshine of The Spotless Mind. Saya suka terjemahan judul film ini: Matahari Abadi Dalam Pikiran Tak Bernoda.
Anyway,
Ada salah satu adegan di Series of Unfortunate Event yang cukup berkesan. Settingnya waktu itu di rumah Count Olaf. Setelah ditinggalkan petugas kesejahteraan sosial Mr Poe, setelah mengetahui pekerjaan yang menumpuk yang harus dikerjakan, setelah mengetahui betapa culasnya Count Olaf; si bungsu Sunny Baudelaire mulai menangis, tertekan dan kangen kepada dua orang-tua mereka yang telah meninggal.
Klaus Baudelaire, anak kedua, mulai stress dan marah-marah. Kabur nggak bisa, diem di rumah dikerjain terus.
Untung ada si sulung Violet Baudelaire yang cukup bijaksana. Setelah membuat tenda mungil dari taplak meja, dengan penerangan lilin seadanya, dan foto almarhum kedua orang tuanya, Violet mengajak masuk kedua adiknya.
Sambil memangku si bungsu Sunny, dia kurang lebih berkata "This is our sanctuary."
Sanctuary, tempat dimana kita merasanya nyaman dan tentram, dan tidak peduli dengan kejamnya kehidupan.
Kalau mengingat hal itu, saya pernah jadi sedikit iri kepada Baudelaire Bersaudara, mereka bisa menemukan sanctuary mereka sendiri dalam keadaan yang sangat menyedihkan.
Tapi buat saya sekarang, sanctuary itu bukan berupa tempat seperti mereka. Sanctuary itu bisa terwujud dari sebuah usapan, kecupan, atau dekapan dari istri.
Maybe sanctuary is just about state of mind....

Friday, May 05, 2006

kangen pulang

di tengah teman-teman yang sibuk di depan komputernya masing-masing
di tengah alunan slank kamu harus pulang
saat kantor sudah mulai sepi menjelang weekend
saat ac di kantor dan lampu ruangan sudah akrab dengan badan
tiba-tiba saja saya kangen
saya kangen pulang ke bandung
saya kangen pulang ke rumah
padahal saya sekarang ini sepertinya sedang bingung menentukan definisi rumah: tempat tinggal atau tempat di mana kita bisa merasa nyaman? Buat saya itu hal yang berbeda, tapi mungkin tidak buat sebagian orang yang lain.
saya mau pulang
saya mau ke bandung
saya ingin kenyamanan yang seperti dulu lagi
sepertinya saya memang butuh cuti panjang buat mengistirahatkan pikiran. Walaupun agak susah, karena pekerjaan yang saya tekuni sekarang sepertinya tidak mengizinkan saya buat terlena dalam liburan yang lama, kecuali resign alias mengundurkan diri.
Mungkin saya sudah jenuh dengan pekerjaan ini, mungkin saya butuh suasana lain.

Monday, May 01, 2006

May Day

Pagi ini, kami berangkat kerja lebih dini, khawatir terjebak demo buruh untuk memperingati May Day atau Hari Buruh Internasional. Padahal tempat tinggal kami yang sekarang tidak terlalu jauh dengan tempat kerja, kalau tidak kena macet mungkin perjalanannya hanya memakan waktu sekitar 15 menit.
Tapi ini Jakarta bung, jangan harap pagi-pagi jalanan lancar kalau bukan bersamaan dengan long weekend atau libur hari raya, seperti lebaran.
Jadi begitu lah, pagi ini kami ke kantor lebih pagi, dan herannya jalan Casablanca di daerah tebet yang biasanya ngantri ternyata agak lancar.
Saya hanya berharap demo kali ini, meskipun katanya jumlah pesertanya lebih dari 40.000 orang, tidak mengundang aksi anarkis.
Tapi sepertinya susah ya...
kalau orang-orang sudah tumplek-plek, sepertinya susah sekali kalau tidak mengundang kerusuhan. Bukan orang Indonesia namanya kalau nggak buat masalah...