Tuesday, August 15, 2006

Merdeka

Apa sih merdeka itu? Pertama-tama, lupakan sejarah, lupakan cerita orang tua jaman dulu, lupakan peperangan, lupakan senjata, dan jangan lupa juga, lupakan semua hal yang membelenggu pikiran.
Buat saya, merdeka itu adalah kebebasan untuk memilih, dan itu harus diawali dari mind-set kita masing-masing. Orang yang sudah merdeka adalah orang yang punya pilihan dalam kehidupan dan mau menjalani pilihan yang dia pilih, bukan sekedar membayangkan dan mengkhayalkan pilihan-pilihannya.
Merdeka buat saya berasal dari pola pikir kita, apakah kita bisa melihat pilihan? Dan apakah kita mau menjalin pilihan itu?
(dan jangan lupa, pilihan-pilihan itu ada konsekuensinya kan ...)
Dan kalau melihat Indonesia, terus terang aja saya selalu miris tiap kali 17 Agustus. Hari Kemerdekaan. Itu kata mereka. Tapi coba lihat ya, sebenarnya mungkin hanya secara hukum saja kita merdeka, tapi kondisi dan situasi di Indonesia sepertinya belum merdeka: hutang yang menumpuk, pemerintah yang korup, peraturan yang tumpang tindih. Saya miris.
Belum lagi kalau melihat teman-teman di daerah lain seperti Aceh dan Papua: Sepertinya ada sebagian teman-teman di sana yang belum merasa merdeka.
Buat saya merdeka adalah masalah kebebasan untuk melihat pilihan-pilihan dan menjalani pilihan-pilihan itu. Merdeka adalah kemampuan untuk melihat dan menjalani berbagai pilihan.
Jadi, kadang-kadang saya beranggapan bahwa orang-orang melayu sebelum tahun 1945 sepertinya lebih merdeka daripada kita sekarang. Mereka punya kemampuan untuk melihat berbagai pilihan dan menjalani pilihan itu.
Mereka melihat bahwa ada bangsa lain yang dengan seenak-udel melakukan eksploitasi, dan mereka memilih untuk menolaknya.
Sementara kita sekarang?

Nobody can give you freedom. Nobody can give you equality or justice or anything, if you're a man, you take it (Malcolm X.)

Wednesday, August 09, 2006

Gimana?

Iya? Gimana?
Pertanyaan itu terus-menerus diajukan saat saya berinteraksi dengan rekan-rekan dari kantor terdahulu. Mereka menanyakan (apa lagi kalau bukan...) pekerjaan baru saya.
Yaahh, masih dalam rangka adaptasi nih... (iya lah, baru kerja sekitar satu bulan, pindah bidang pekerjaan, perubahan ritme harian dan lain-lain)
Itu jawaban singkat saya. Saya sengaja memberi jawaban singkat karena:
pertama, saya malas memberikan jawaban panjang lebar
kedua, saya bukan tipe orang yang doyan berbicara (lihat alasan pertama)
ketiga, saya berpikir pragmatis: saya tidak mau membanding-bandingkan kantor lama dan kantor baru (karena saya juga tidak suka dibanding-bandingkan)
keempat, ... (nggak tau dan belum kepikiran-semoga nggak ada)
Karena pekerjaan baru ini, saya harus pergi pagi-pagi sekali dari tempat tinggal yang sekarang berada di perbatasan Bekasi sana. Paling telat jam 05:45, kami (saya dan istri) sudah harus pergi. Saya lebih baik datang kepagian daripada harus kena macet sepanjang perjalanan ke kantor, saya tidak mau energi pagi hari saya terbuang karena stres kena macet di jalan.
Di kantor yang baru, jam kerja efektif mulai 08:30 sampai 17:30. Tapi saya biasanya sudah tiba di kantor sekitar jam 06:45. Iya kepagian, but that's fine with me since I'm a slow-starter during office hour.
Saya memang masih beradaptasi, terutama dengan hal ini:
ketika pagi-pagi sudah datang ke kantor dan masih banyak waktu buat leye-leye sebelum jam kerja mulai, rasanya kok ya tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan...
TAAAPPPIIIII begitu masuk jam kerja, mulai deh serabutan kerja: ngetik sana ngetik sini, telepon-teleponan buat sekedar konfirmasi, mengirimkan dan membalas email-email, membuat berbagai daftar-daftar yang membuat pening kepala, sampai rapat-rapat di luar kantor yang kadang-kadang membuat pusing (remember? I'm a slow-starter, it requires a lot of time for me to change the client issues ...)
duh

Friday, August 04, 2006

Infotainment: Antara Dihujat dan Dinikmati

Coba tengok beberapa forum di internet atau lihat kembali beberapa mailing list yang Anda ikuti. Beberapa forum dan mailing list yang saya ikuti beberapa hari terakhir ini memuat polling tentang keputusan PBNU untuk memberikan fatwa haram kepada infotainment.
Hal pertama terlintas dalam benak saya ketika mengetahui hal ini adalah:
phew, finally...
Tapi nanti dulu, apa benar infotainment berhak mendapat fatwa haram? Karena setahu saya, fatwa haram itu biasanya dikeluarkan oleh MUI. Mungkin (ini hanya mungkin) fatwa haram PBNU itu dikeluarkan hanya untuk anggota NU saja (yang mungkin memang banyak).
Buat saya pribadi, tayangan infotainment itu lebih banyak hal negatifnya daripada positif. Siapa yang mau kehidupan pribadinya terekspos dan tersebar? Siapa yang mau maklum kalau insan infotainment itu terkesan 'gigih' dalam mengusik kehidupan pribadi orang lain? Kenapa juga tayangan infotainment semuanya harus mirip; isu-isunya hampir tidak jauh berbeda? Huh... nggak kreatif banget sih. Dan masih banyak lagi.
Tapi.... sebagai orang yang pernah berkecimpung di dunia kewartawanan, saya mengacungi jempol untuk wartawan infotainment untuk mengetahui informasi (terlepas bahwa itu adalah informasi pribadi), dan membeberkannya. Coba kalau untuk bidang lain, minimal bidang ekonomi. Misalnya saja, siapa yang bisa meramal tingkat inflasi dua bulan sebelumnya? Atau pembelian besar-besaran yang dilakukan oleh sebuah perusahaan jauh hari sebelum perjanjian pembelian ditanda-tangani? Kayanya nggak ada ya...
Bandingan dengan infotainment, dua bulan atau ada yang sampai enam bulan sebelumnya, kru infotainment bisa melihat retaknya sebuah rumah tangga, perselisihan antara artis dan manajemen atau PH, selebritis-selebritis yang menjalin hubungan, pokoknya banyak deh.
Seandainya saja (seandainya saja lho) para jurnalis di Indonesia mempunyai semangat seperti kru infotainment untuk mengejar sebuah berita, sepertinya kita tiap hari bakalan bisa melihat berita-berita menarik ya



Tiba-tiba saja saya teringat dengan ungkapan man behind the gun. Segala sesuatu yang ada di dunia ini kan tergantung dengan orang yang melakoninya.
Pistol di tangan pihak yang baik dan benar bisa menjadi senjata ampuh untuk menegakkan keadilan (atau apalah namanya itu yang bisa membuat kita lebih nyaman menjalani kehidupan).
Tapi kalau di tangan penjahat? Ya berabe dong.
Sama juga dengan kasus infotainment ini. Jangan-jangan yang harus dicermati disini adalah sifat dan sikap masyarakat Indonesia secara keseluruhan, secara global.