Tuesday, October 07, 2008

krisis

Rasa-rasanya, krisis ekonomi Amerika Serikat yang berimbas ke perekonomian global bisa jadi hadiah akhir lebaran yang lumayan berkesan. Keterpurukan ekonomi Amerika yang dipicu oleh ketidak-mampuan negara itu untuk menyeimbangkan anggarannya, harus mengimbas perekonomian Indonesia.
Awalnya saya nggak habis pikir, kenapa yang ekonominya sedang sulit di Amerika sana bisa mempengaruhi secara signifikan perekonomian di Indonesia. Saya bilang 'secara signifikan' karena pemberitaan ekonomi selama dua hari terakhir ini difokuskan kepada persiapan pemerintah kita tercinta jika ekonomi Indonesia terpuruk seperti krisis 1997 lalu.
Tanda-tandanya mungkin memang sudah kelihatan, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika dan menurunnya IHSG.
Awalnya saya heran, kenapa nilai tukar rupiah bisa melemah terhadap dolar Amerika? Padahal kan, kalau memang mekanisme pasar berlaku pada sistim ekspor impor kita, kita bisa mengalihkan tujuan ekspor kalau memang Amerika tidak mampu bayar ekspor kita.
Saya ingat betul tiga atau empat tahun yang lalu, Departemen Perindustrian dan Perdagangan selalu mengumumkan upaya pengalihan tujuan ekspor dari tujuan tradisional (Amerika Serikat, Jepang, Singapura, dan dua lainnya yang saya tidak hapal). Sepertinya itu kurang berhasil ya.
Tapi tunggu dulu, saya baru dapat informasi kalau pangsa pasar nilai ekspor kita ke Amerika Serikat, hanya sekitar 11% dari total nilai ekspor.
11%, rasa-rasanya perbandingan itu nggak pas banget dengan pengaruhnya terhadap pelemahan nilai tukar rupiah, maksudnya 11% itu kan kecil banget. Hanya 1,1 dari skala 10.
Tapi kemudian saya teringat penurunan angka IHSG. Mungkin ini pemicu utamanya.
Logikanya begini: penurunan IHSG bisa merupakan pencerminan dari rendahnya transaksi di lantai bursa. Kalau pasar sepi peminat, salah satu langkah logis yang akan dilakukan oleh penjual atau pedagang adalah menurunkan harga dagangannya, dengan harapan bisa menarik pembeli.
Untuk bisa melakukan transaksi di BEI, penjual dan pedagang harus menggunakan mata uang yang sama dong, yaitu rupiah.
Sebenernya nggak jadi masalah kalau pembelinya adalah orang lokal yang mempunyai stok rupiah memadai. Tapi yang hampir selalu terjadi di BEI adalah, pembelinya itu orang asing yang nggak punya stok rupiah memadai. Para pembeli asing selama ini hampir selalu mengandalkan pasar mata uang untuk mendapatkan rupiah.
Dulu-dulu, mungkin ini yang diandalkan oleh pemerintah untuk menjaga kestabilan rupiah.
Tapi apa yang terjadi saat krisis seperti ini? Boro-boro beli rupiah untuk beli saham, dolar yang mereka punya dialokasikan untuk menutupi kerugian finansial mereka (yang dipicu oleh kebijakan pemerintah Amerika Serikat).
Jadilah sekarang ini stok rupiah menjadi berlimpah sehingga nilai tukar terhadap dolar Amerika melemah.
Mau nggak mau, ini semua memang buah kebijakan pemerintah kita tercinta yang memfokuskan perhatian kepada sektor ekonomi non-riil, menganak-emaskan paper market yang padahal termasuk investasi jangka pendek.
BKPM? Tai pedut kalo kata orang Sunda bilang.
Saya jadi teringat tulisan Faisal Basri di Kompas awal minggu ini, intinya dia bilang krisis ekonomi ini merupakan buah dari sistim ekonomi liberal yang bernuansa riba. Bagaimanapun juga, kata dia, pasar akan selalu mencari cara untuk menjaga keseimbangan ekonomi dan memberikan reaksi terhadap sistim ekonomi yang diterapkan.
My old man bilang, ada kemungkinan krisis kali ini akan berlangsung sampai 2010 mendatang, dengan mempertimbangkan siklus krisis ekonomi dunia yang telah terjadi.
Well, sometimes shit happens.

Wednesday, October 01, 2008

Tentang lebaran

Ramadhan sudah lewat sejak sekitar 45 menit yang lalu.
Saya membayangkan, kalaulah Orde Baru masih berkuasa sampai sekarang, kemungkinan besar kita akan melewati malam takbiran sambil menonton film G 30 S-PKI, mungkin yang sudah direvisi dengan penggantian beberapa aktor dengan 'stok' yang lebih muda: Didi Petet, Mathias Muchus atau mungkin yang lainnya. (ada usulan?)
Rasa-rasanya, baru kali ini saya mengalami akhir bulan Ramadhan yang bertepatan dengan tanggal 30 September.
Secara keseluruhan, kalau boleh saya nilai, saya pribadi menjalani Ramadhan yang lebih baik daripada tahun lalu. Yah minimal sempat beberapa kali menjalankan shalat tarawih berjamah. Berbeda dengan tahun lalu yang hanya sekali. Nggak tau kenapa sejak pindah kerja, frekwensi saya bershalat tarawih berjamaah pada Ramadhan menurun dengan amat signifikan.
Ramadhan kali ini juga memberikan pengalaman pertama saya mudik sekeluarga untuk merayakan lebaran dengan keluarga orang tua saya di Bandung. Tadinya saya sudah was-was bakalan kena antrian panjang kendaraan, karena saya berangkat pada hari yang diperkirakan menjadi puncak arus mudik. Untungnya itu nggak kejadian, Bandung-Jakarta ditempuh dalam waktu sekitar dua jam. Sampai di Bandung masih pagi, jadi sempat jalan-jalan di ITB.
Saya kadang-kadang penasaran, apa yang ada di benak orang lain saat hari terakhir Ramadhan ya? Dulu saya sempat diberi tahu kalau para sahabat Rasul menangis sedih ketika Ramadhan berakhir karena mereka akan meninggalkan bulan yang penuh rahmat.
Sedangkan saya? Yah saya harus mengakui bahwa yang terlintas di benak saya setiap hari terakhir Ramadhan adalah: Alhamdulillah, ini hari terakhir puasa dan besok nggak puasa - karena saya menganggap bahwa Ramadhan adalah ujian yang cukup berat.
Jadi saya ingin mengucapkan: Selamat nggak puasa besok soalnya udah lebaran, mohon maaf lahir batin dan semoga kita semua termasuk ke dalam orang-orang yang diberkati Allah SWT.
Dan buat yang tidak merayakan lebaran: have a nice long holiday.