Wednesday, December 31, 2008

Counting down

Sekarang ini adalah saat-saat terakhir di 2008, jam-jam terakhir saya di 2008. Kurang dari 12 jam lagi, tahun sudah berganti jadi 2009.
Saya selalu teringat postingan Bagja tentang tahun baru: ....manusia memang butuh penanda...
Sementara saya sendiri yakin histeria tahun baru akan berkurang sampai setengahnya kalau setiap tanggal 1 Januari tidak ditetapkan sebagai hari libur internasional. Jalan ke Puncak, Bogor tidak akan padat merayap (atau mungkin statusnya lebih parah).
Tadinya saya berpikir, gimana ya saya menghabiskan jam-jam terakhir di 2008? Membuat postingan sejam sekali di blog ini sepertinya oke juga. Hanya saja rencana tinggal rencana karena saya belum pernah tidak memejamkan mata selama 24 jam non-stop. Apalagi hari terakhir 2008 ini kantor saya buka dan saya harus ngantor seperti biasa. Sebenarnya bisa juga di-akal-in dengan mengubah setting-an waktu di blog ini. Tapi itu jadi artificial dong...
Tahun baru yang lalu, saya habiskan pada sebuah event klien kantor. Lewat tengah malam, saya pulang, dan langsung menyalakan internet untuk membuat postingan.
Saya ingat salah satu rencana saat itu adalah mengisi blog ini dengan postingan berbahasa Inggris. Tapi itu juga hanya bertahan beberapa bulan saja. Dalam beberapa hal, menulis dalam bahasa Inggris akan membuat saya lebih paham bahasa ini. Tapi tetap saja, untuk mengekspresikan sesuatu, menulis dalam bahasa lebih lancar meskipun menulis dalam bahasa Inggris juga bisa lebih 'kena' untuk mendeskripsikan sesuatu.
Jadi apa resolusi tahun 2009?
Beuh, bisa menyelesaikan rencana kerja 2009 hingga enam bulan ke depan saja saya sudah bersyukur.

Friday, December 19, 2008

stress

Buat saya, stres itu seperti lingkaran setan. Saya merasa lebih lemot kalau sedang stres. Lebih bego.
Dan saya selalu menyalahkan diri saya sendiri kalau saya melakukan hal-hal yang bego. Tambah stres-lah saya, dan makin bego-lah saya. Berulang-ulang.
Saya sendiri masih mencari resep yang manjur biar tidak gampang stres dan semakin bego ini. Mungkin keluar dari rutinitas bisa jadi salah satu jalan keluar.
Satu hal lagi: menjadi stres kadang-kadang membuat saya jadi lebih 'evil'. Duh....

Wednesday, December 17, 2008

being melancholist (second edition)


Menjadi seorang yang melankolis adalah menjadi orang dengan kuota rasa sedih membludak, yang kadang bisa dipicu oleh kejadian kecil yang hampir nihil. Atau bahkan tidak dipicu sama sekali: datang tiba-tiba dan terus menempel dalam waktu yang lama.
Saya salah satu diantaranya.
Pemicunya hari ini, mungkin (karena memang tidak yakin) adalah tulisan Mumu ini, tulisan tentang review film. Saya suka baca tulisan-tulisan dia. Bertutur. Alurnya bagus. Dekat dengan keseharian. Hanya saja saya tidak bisa memberikan komentar karena blog dia di Multiply, dan kita harus log-in dulu sebelum bisa komen.
Tulisan dia kali ini tentang sebuah film Indonesia. Judulnya 'Pertaruhan', film dokumenter yang berisi 4 film pendek tentang perjuangan perempuan.
Saya sedih ketika Mumu mendeskripsikan perasaannya pada sebuah adegan pada film keempat, yang bercerita tentang perjuangan hidup seorang ibu menghidupi anak-anaknya dengan menjadi kuli batu siang hari dan menjadi PSK pada malam harinya. Saya sedih.
Kesedihan kedua, mungkin (sekali lagi...) waktu saya mendengar berita duka cita meninggalnya kerabat rekan kerja hari ini. Almarhum memang sudah cukup uzur. Saya sedih teringat nenek saya.
Ketiga, saya sedih karena mungkin (masih...) ketika sepulang kerja saya mampir ke Cawang, rumah nenek saya. Suasananya muram sekali. Saya teringat masa-masa waktu saya menghabiskan waktu di rumah ini.
Keempat, saya sedih ketika baru tahu penunggu rumah di Cawang kehilangan bayinya yang baru tiga hari dilahirkan, meninggal karena penyakit. Sekitar dua minggu sebelum nenek saya meninggal. Tiga hari....
Kelima, saya sedih ketika saya sadar saya jarang berkomunikasi dengan adik bungsu saya yang tinggal di Cawang.
Saya sedih sekali hari ini.
Ada yang mau berbagi kesedihan?

Note: image from gettyimages

Friday, December 05, 2008

Layanan Tenda Makanan


Minggu lalu, ketika di Bandung, saya mengajak my partner dan Putri Jail untuk sarapan di Bubur Ayam Mang Oyo. Saya memang sengaja datang ke Bandung pagi-pagi untuk sarapan di sini, apalagi Putri Jail belum sempat sarapan dan sepanjang perjalanan Bekasi-Bandung dia ngoceh sana-sini dan jack-pot satu kali.
Saya bilang ke my partner, dulu awal-awal berdiri Bubur Ayam Mang Oyo membebaskan para pembelinya untuk mengambil topping buat buburnya masing-masing. Jadi Mang Oyo hanya memberikan para pelanggannya semangkuk bubur putih panas yang liket, saking liket-nya kalau mangkok buburnya dibalikkan, buburnya tidak akan tumpah.
Besok harinya kami sarapan bubur ayam lagi, namun kali ini letaknya lebih dekat dengan rumah ortu di daerah Buah Batu. Kami dan dua keponakan yang nggak mau diam sarapan di daerah Batununggal. Komentar istri saya: "Kok bubur yang ini lebih enak daripada bubur ayam Mang Oyo, tapi kenapa disana lebih laku dan lebih terkenal ya...?"
Siang ini, setelah Jum'at saya makan soto ayam di daerah Pasar Santa. Sepertinya lumayan terkenal karena setiap kali saya lewat tempat ini, kedai Soto Ayam-nya selalu penuh. Pesanan datang, saya cicipi kuahnya, yah memang terasa sedikit berbeda kalau dibandingkan dengan kedai Soto Ayam lainnya yang pernah saya coba. Tapi kenapa lumayan terkenal.
Ketika saya secara tidak sengaja melihat bagaimana pelayan di sana berinteraksi dengan pelangaannya, saya menemukan hal yang sama dengan bubur ayam Mang Oyo yang di Bandung sana.
Keakraban.
Man Oyo nggak ragu-ragu buat menyapa dan bercanda dengan pelanggannya, sama seperti pelyanan yang ada di kedai soto ayam itu. Meskipun nggak kenal dengan pelanggannya, sapaan mereka terdengar hangat dan akrab. Orang jadi betah makan disana, bahkan rela antre.
Sepertinya stragegi ini juga diterapkan oleh rumah makan kelas atas, yang terkadang Chef-nya keluar dari dapur, menyapa pelanggannya, dan bahkan memenuhi rasa ingin tahu pelanggan yang ingin melihat kondisi dapurnya (saya baca di suatu majalah tentang ini...)
....
the truth is, saya nggak tau gimana mengakhiri tulisan ini, jadi....

Note: image was taken from gettyimage