Monday, January 31, 2011

Awal dan akhir, in memoriam Ipong

Yak...
mulai menulis lagi. Salah satu niat saya di tahun ini memang lebih banyak menulis di blog ini yang kerap kali diabaikan.
Agak janggal juga mulai menulis di awal tahun pada akhir bulan, padahal harusnya awal tahun ya.
Saya mengawali tahun ini dengan kesedihan. Teman kerja saya yang duduk tepat di samping saya: Friendly Tamba atau biasa yang dipanggil Ipong, meninggal.
Hari Sabtu 1 Januari 2011, Ipong berangkat pagi dari rumahnya sendirian untuk mengikuti kegiatan di gereja. Rumah dia di daerah Tambun Bekasi. Gerejanya di daerah Pulo Gadung. Mungkin dia terburu-buru, dia lumayan aktif di gereja dan belakangan saya dengar bahwa untuk acara hari Sabtu itu dia jadi pembawa acara.
Tapi Ipong nggak pernah tiba di gerejanya hari Sabtu itu, dia mendapat kecelakaan, sempat di bawah ke rumah sakit, namun dia meninggal.
Saya diberi kabar Sabtu menjelang siang, oleh Emak. Saya agak ragu denger kabar itu. Emak minta kabar disebar-luaskan ke rekan kerja yang lain. Done.
Saya teringat kalau orang tua Ipong saat itu sedang tidak ada di Jakarta, mereka sedang pulang kampung ke Batak sana. Ipong sedang sendirian. Siapa yang mengurus jenazah Ipong? Apalagi Bepe yang langsung datang ke rumah duka Cikini ngasih laporan: "Ya ampun, belum diapa-apain, mirip foto-foto di Pos Kota,"
Untungnya ada Mbak Lita Pathfinder, yang langsung bantu-bantu disana.
Ipong kenal dengan keluarga saya, my partner dan putri jail.
Putri jail komentarnya adalah, "Pacarnya Om Ipong gimana?"
Damn, saya baru nyadar, siapa yang ngasih tau pacarnya, Ika, (belakangan baru saya tahu bahwa justru Ika yang mendapat kabar pertama kalau Ipong mendapat kecelakaan - ditelepon oleh Satpam rumah sakit. Meskipun dia nggak tau kalau Ipong meninggal).
Saya dan my partner menjenguk ke rumah duka di Cikini, cukup banyak teman kantor yang sudah datang, termasuk Bepe dan Mbak Lita. Brian, owner perusahaan, yang sedang kena demam berdarah juga dibela-belain datang.
"Ipong sedang dimandikan," kata Mbak Lita. Ipong pasti kelihatan gagah dengan setelan jasnya.
Terus terang, saya sendiri pada awalnya nggak bisa menentukan perasaan saya waktu awal-awal mendengar Ipong sudah meninggal. Belakangan, ketika saya dan my partner pulang dari Cikini, saya akhirnya menangis. Kehilangan. Beberapa sekelebatan kenangan Ipong melintas di benak saya.
"Panutan saya tuh kalau di PR ya mas roi," itu dia bilang. Padahal saya sendiri belum ada seujung kuku kalau di dunia PR.
Jujur, saya merasa marah karena ini nggak adil. Tapi marah sama siapa? Yang Maha Kuasa? Murtad dong.
Tapi saya masih berpendapat kalau ini nggak adil. Ipong, awak termuda di divisi kami, yang kemarin baru saja menentukan pilihan untuk tetap disini setelah mendapat tawaran dari mantan dosennya untuk bergabung dengan sebuah perusahaan, Ipong yang ganteng, yang masih punya banyak harapan, Ipong yang...
Tapi mungkin Yang Maha Kuasa punya kehendak lain. Saya teringat kutipannya Soe Hok Gie : berbahagialah mereka yang mati muda.
Ipong mungkin lebih bahagia di alam sana.

Friday, January 14, 2011

Blablabla

Postingan ini sebagian dibuat saat ngantri di KFC PVJ
Ini sindrom musiman yang sering muncul kalau saya ke Bandung, kota tempat saya dibesarkan,: sejuta pertanyaan 'what if', 'gimana kalo'.
Salah satunya adalah: gimana kalo saya dulu nggak ngambil pekerjaan di Jakarta dan terus bekerja di sebuah radio siaran swasta, yang letaknya dekat dengan rumah orang tua saya itu?
Gimana jadinya kalo ternyata saya lebih memilih politeknik itu daripada institut ini?
Gimana jadinya kalo ternyata istri saya adalah orang yang sama-sama dibesarkan di Bandung juga?
Gimana jadinya dulu waktu kuliah, saya 100% kuliah dan tidak lirik kanan-kiri lalu ngambil kursus broadcasting?
Gimana jadinya kalo ternyata saya meng-iya-kan mantan yang mau balik lagi itu? *berasalaku*
Gimana jadinya kalo ternyata saya lebih menikmati 'dunia malam' di Bandung dg sering kelayapan sama temen yg anak geng itu?