"Harus baca. Itu Majalah Tempo edisi 40 tahun. Tulisannya bagus-bagus. Gue suka banget tulisannya siapa itu? Suaminya Sandrina Malakiano? Eep. Harus baca."
Begitu kurang lebih yang dibilang sama supervisor saya beberapa hari yang lalu. Sebenarnya saya tidak meragukan tulisan di Tempo, semuanya bagus. Semua tulisannya 'mengalir'. Hanya saja terkadang isu-isu yang diusung lumayan berat: politik, ekonomi, atau apalah. Membayangkannya saja saya lelah. Ini sebabnya selama beberapa bulan terakhir saya lebih menikmati saudara muda dari Tempo: U-magz. Majalah lifestyle buat pria dari dapur redaksi yang serupa: Tempo.
Jadi begitulah, sepanjang sore ini, saat dimana sebagian warga Jakarta terjebak kemacetan akibat hujan es dan angin kencang yang berujung pada genangan air dan dahan-dahan pohon yang patah, saya terpekur di meja buat menekuni Tempo edisi ulang tahun ke-40nya, sambil sesekali melihat garis masa di Twitter.
Pada edisi ulang tahun ini, Tempo membagi fisik majalahnya menjadi dua (edisi depan-belakang): yang pertama adalah edisi normal dan yang kedua adalah edisi Kecap Dapur Tempo yang berisi tulisan-tulisan khusus untuk memperingati ulang tahun tempo ke 40.
Membaca Kecap Dapur Tempo ini seperti membolak-balik sebuah buku kenangan. Saya merasa lebih dekat dengan Tempo: deskripsi suasana rapat redaksi di tahun 70-an, melihat, Gus Dur (Alm.) yang sedang mengetik di mesin tik, dan Goenawan Mohamad muda berkacamata hitam atau hanya mengenakan singlet di depan mesin tik.
Tulisan-tulisannya membawa saya menengok cerita di balik artikel-artikel Tempo; tentang Catatan Pinggir; tentang liputan Tampomas II oleh Dahlan Iskan.
Bukan laporan khusus kalau tanpa kejutan, sama juga dengan Kecap Dapur Tempo ini. Saya akrab dan suka dengan tulisan Indra Herlambang di U-Mag. Saya takjub aja melihat artis yang bisa menulis bagus: runut dan 'mengikat' untuk dibaca sampai akhir. Di Tempo edisi khusus ini, Indra Herlambang juga menyumbang tulisan dua halaman, sama seperti tulisan dari orang 'luar Tempo' yang dimuat di Edisi Kecap Dapur Tempo: Janet Steele, Associate Professor of Media and Public Affairs George Washington University dan penulis buku tentang Tempo: Wars Within.
Sedangkan tulisan Eep? Cukup ditaruh di edisi normal-nya saja.
Wednesday, March 16, 2011
Monday, March 14, 2011
Pertemuan keluarga
Kemarin, keluarga besar dari pihak ibu saya mengadakan pertemuan sekaligus arisan keluarga. Tempatnya lumayan berjarak dari Jakarta: Ciater-Subang. Walhasil saya yang hanya hafal trayek Bandung-Sukabumi-Cianjur-Jakarta atau Bandung-Jakarta via Cikampek, tidak tahu jalan dan hampir saja bablas ke daerah Sadang setelah keluar dari Jatiluhur - alias jalan pulang lagi ke Jakarta.
Sebenarnya jarak Jakarta-Ciater sendiri mungkin bisa ditempuh dalam waktu sekitar 3 jam: 1,5 jam untuk perjalanan di Tol Cikampek - GT Jatiluhur, dan 1,5 jam untuk GT Jatiluhur - Subang, Ciater via Wanayasa. Jalur ini biasa digunakan sebagai jalur alternatif mudik saat lebaran untuk arus kendaraan ke arah timur kawasan Pulau Jawa. Jalannya mulus sebagian dan sebagian lagi bergelombang. Tapi yang pasti jalur ini seperti jalur puncak yang tidak menampilkan pandangan monoton jalan tol: banyak kebun teh, pohon pinus kanan kiri jalan.
Keluarga kami menyewa enam (atau tujuh ya) cottage di Lembah Sarimas. Later on, saya tahu bahwa sebenarnya ini adalah usaha cottage yang islami: mereka mendukung (secara finansial dan logistik) sebuah masjid (Masjid As Sa'adah) yang berada dalam komplek cottage mereka. Ini saya ketahui saat sesi sharing dengan pemilik komplek cottage tersebut: Pak Monty - pria didikan Amerika Serikat dengan keterbatasan fisik tapi mampu memberikan manfaat bagi masyarakat di kawasan Ciater.
Acara pertemuan keluarga kemarin memang bukan semata-mata hanya arisan keluarga saja, tapi juga ada sharing session sesama keluarga generasi ketiga (saya dan sepupu-sepupu saya). Sharing session dengan Pak Monty jadi acara yang cukup spesial. Selain acara sharing session, ke Ciater tanpa berendam di air panas alami rasanya kurang sreg (walhasil punggung saya merah-perih setelah berendam kemarin). Ada juga acara lomba anak -generasi keempat-. Nggak tau minum obat apa, Paman saya menunjuk saya sebagai panitia lomba anak-anak ini. Karena dadakan, saya menodong my partner buat bantu-bantu. Syukur acara lomba, dan keseluruhan acara, berjalan lancar.
Jadi apa saja yang diomongin disela-sela acara tadi? Yah, mungkin kita sering denger joke kalau pertemuan keluarga selalu jadi tempat dimana orang biasa nanya: "Kapan undangannya?" - hal-hal tentang pasangan hidup.
Tapiiiii, ternyata kemarin itu - setidaknya para pria - jarang membahas tentang 'undangan'. Entah bagaimana, kami lebih sering membahas lingkar perut kami yang sudah mulai membesar, makanan sehat, hindari karbohidrat, makan seafood laut dalam, de-el-el.
Harus diakui bahwa pria-pria generasi ketiga di keluarga kami memang rata-rata mempunyai lingkar perut yang besar -termasuk saya tentunya-. Kalau di Italia sih mungkin nggak apa-apa ya. (Di Italia, idiom yang berhubungan dengan pria berperut biasanya berhubungan dengan keanggotaan mafia).
Selain itu, mungkin ini akibat dari punya paman seorang dokter: yang nggak bosen-bosennya memberi nasehat kami buat jaga lingkar perut. "Kualitas kehidupan itu bisa dilihat dari lingkar perut seseorang," katanya berulang-ulang.
Diskusi masalah lingkar perut ini juga dipanas-panasi oleh sepupu saya yang kerja di Chevron sana. Dia bilang, setiap awal tahun ada kontrak yang dibuat antara pekerja dan perusahaan yang mencakup semua hal yang berhubungan dengan kinerja, termasuk kesehata, dan termasuk berat badan. Walah. Sepanjang pengetahuan saya, biasanya pramugari yang cukup ketat buat masalah ini. Di Singapore Airlines misalnya, pramugari yang ketahuan berat badannya bertambang akan dapat teguran. Tapi ini, perusahaan energi, sampe segitunya ya? Tapi ini bagus kok, ini menunjukkan bahwa perusahaan itu mempunyai perhatian untuk karyawannya sampai hal-hal sedetil itu.
Saya sendiri sih memang sudah punya niat untuk memperbaiki pola makan dengan mengurangi karbohidrat, dalam hal ini nasi. Tapi kok ya susah banget ya?
Karbohidrat kurangi, perbanyak ikan. Ikan juga nggak sembarang seafood.
Duh
Sebenarnya jarak Jakarta-Ciater sendiri mungkin bisa ditempuh dalam waktu sekitar 3 jam: 1,5 jam untuk perjalanan di Tol Cikampek - GT Jatiluhur, dan 1,5 jam untuk GT Jatiluhur - Subang, Ciater via Wanayasa. Jalur ini biasa digunakan sebagai jalur alternatif mudik saat lebaran untuk arus kendaraan ke arah timur kawasan Pulau Jawa. Jalannya mulus sebagian dan sebagian lagi bergelombang. Tapi yang pasti jalur ini seperti jalur puncak yang tidak menampilkan pandangan monoton jalan tol: banyak kebun teh, pohon pinus kanan kiri jalan.
Keluarga kami menyewa enam (atau tujuh ya) cottage di Lembah Sarimas. Later on, saya tahu bahwa sebenarnya ini adalah usaha cottage yang islami: mereka mendukung (secara finansial dan logistik) sebuah masjid (Masjid As Sa'adah) yang berada dalam komplek cottage mereka. Ini saya ketahui saat sesi sharing dengan pemilik komplek cottage tersebut: Pak Monty - pria didikan Amerika Serikat dengan keterbatasan fisik tapi mampu memberikan manfaat bagi masyarakat di kawasan Ciater.
Acara pertemuan keluarga kemarin memang bukan semata-mata hanya arisan keluarga saja, tapi juga ada sharing session sesama keluarga generasi ketiga (saya dan sepupu-sepupu saya). Sharing session dengan Pak Monty jadi acara yang cukup spesial. Selain acara sharing session, ke Ciater tanpa berendam di air panas alami rasanya kurang sreg (walhasil punggung saya merah-perih setelah berendam kemarin). Ada juga acara lomba anak -generasi keempat-. Nggak tau minum obat apa, Paman saya menunjuk saya sebagai panitia lomba anak-anak ini. Karena dadakan, saya menodong my partner buat bantu-bantu. Syukur acara lomba, dan keseluruhan acara, berjalan lancar.
Jadi apa saja yang diomongin disela-sela acara tadi? Yah, mungkin kita sering denger joke kalau pertemuan keluarga selalu jadi tempat dimana orang biasa nanya: "Kapan undangannya?" - hal-hal tentang pasangan hidup.
Tapiiiii, ternyata kemarin itu - setidaknya para pria - jarang membahas tentang 'undangan'. Entah bagaimana, kami lebih sering membahas lingkar perut kami yang sudah mulai membesar, makanan sehat, hindari karbohidrat, makan seafood laut dalam, de-el-el.
Harus diakui bahwa pria-pria generasi ketiga di keluarga kami memang rata-rata mempunyai lingkar perut yang besar -termasuk saya tentunya-. Kalau di Italia sih mungkin nggak apa-apa ya. (Di Italia, idiom yang berhubungan dengan pria berperut biasanya berhubungan dengan keanggotaan mafia).
Selain itu, mungkin ini akibat dari punya paman seorang dokter: yang nggak bosen-bosennya memberi nasehat kami buat jaga lingkar perut. "Kualitas kehidupan itu bisa dilihat dari lingkar perut seseorang," katanya berulang-ulang.
Diskusi masalah lingkar perut ini juga dipanas-panasi oleh sepupu saya yang kerja di Chevron sana. Dia bilang, setiap awal tahun ada kontrak yang dibuat antara pekerja dan perusahaan yang mencakup semua hal yang berhubungan dengan kinerja, termasuk kesehata, dan termasuk berat badan. Walah. Sepanjang pengetahuan saya, biasanya pramugari yang cukup ketat buat masalah ini. Di Singapore Airlines misalnya, pramugari yang ketahuan berat badannya bertambang akan dapat teguran. Tapi ini, perusahaan energi, sampe segitunya ya? Tapi ini bagus kok, ini menunjukkan bahwa perusahaan itu mempunyai perhatian untuk karyawannya sampai hal-hal sedetil itu.
Saya sendiri sih memang sudah punya niat untuk memperbaiki pola makan dengan mengurangi karbohidrat, dalam hal ini nasi. Tapi kok ya susah banget ya?
Karbohidrat kurangi, perbanyak ikan. Ikan juga nggak sembarang seafood.
Duh
Subscribe to:
Posts (Atom)