Sunday, September 20, 2015

Duh

It was a hard week....
Diawali dengan beberapa kali penolakan ide kreatif oleh klien...bahkan sampe sekarang; yang berujung pada terlambat-nya beberapa deadline pekerjaan kreatif.
Belum lagi 'percikan' di internal tim.
Beberapa nada dingin teguran klien yang membuat ... sakitnya tuh disini...
Pulang ke rumah di awal hari...menjelang akhir pekan.
Yep.
It was a hard week.
Rasa-rasanya ingin melambaikan tangan ke kamera...
Tapi ketika melihat postingan di Instagram seperti ini, gue secara tidak langsung disadarkan.
Mungkin memang seperti ini jalannya.

Sunday, September 13, 2015

Pelajaran

Salah satu hal yang pengen gue ajarin ke Putri Jail adalah: hidup ini gak adil, dan gimana kamu deal with ketidak-adilan itu, akan menunjukkan kualitas manusia seperti apa kamu berkembang.
Kamu boleh berusaha sekuat tenaga, berdoa sepanjang nafas, tapi yang bakalan menentukan di ujung adalah bagaimana reaksi kamu terhadap hasil akhir.
Kamu memperoleh apa yang kamu mau? Good, now set  new one. Tapi kamu gak memperoleh apa yang kamu mau? Well it's OK. Life goes on. Set other journey then.
Dan ini juga akan berhubungan dengan doa yang kamu dengungkan.
Jangan minta apa yang kamu mau dengan harapan kamu bisa lebih daripada orang lain. Tapi mintalah, hanya dan selalu, keleluasaan jiwa dan ketenangan hati apapun dari hasil akhir.

Friday, September 04, 2015

Kenapa ini?

Ini kenapa ada draft kosong melompong ada di list tulisan gue ya?
hmmmmm

Menulis dengan perasaan

Kapan sebaiknya kita menulis?
Kalau membaca karya-karya sastra, somehow gue ngerasa karya sastra, atau tulisan sastrawan, selalu penuh dengan emosi

Hari ini seperti hari juga kemarin
Tak lagi terbandingkan, antara nasib antara sepi
Kemudian rawan, jatuh di bumi
Lantas seperti kemarin-kemarin: matahari pagi
Seno Gumira - Yogya 1976

Mungkin kita harus menulis waktu kita penuh emosi? Jadi lebih gampang untuk menuangkan perasaan yang ada? Kaya dulu waktu kita naksir seseorang, dan mulai menulis surat (mungkin sekarang email - atau update Twitter? Path?); tulisan kita bisa 'lebih dirasa' lebih punya perasaan, yang ujung-ujungnya, jadi lebih enak dibaca.
(Jadi teringat surat 'thank you letter' yang gue buat beberapa tahun yang lalu waktu gue mengundurkan diri dari media tempat gue kerja. Itu, menurut gue, salah satu masterpiece gue. Banyak orang suka, terlihat dari banyak-nya reply buat surat itu. Dan, beberapa bulan kemudian, salah satu bos disana resign terus membuat surat yang serupa. "Tapi gak kaya yang lo buat sih. Kurang greget," kata temen gue. Kurang lebih.)
Seharusnya sih, kalau memang benar begitu, apa pun yang kita rasa sekarang seharusnya bisa memicu kita untuk menulis sesuatu. Marah, kesal, senang, penasaran, sedih. Semuanya perasaan kan?