Waktu gue TK, gue pernah nonton film barat. Film itu diawali oleh adegan pesawat terbang yang nabrak gunung, sayapnya patah, dan jatuh berantakan. Penumpangnya sepertinya tewas semuanya.
Dan itu membekas di benak gue waktu itu.
Beberapa minggu (atau hari?) setelahnya, My Oldman nganterin gue ke Cawang untuk nerusin sekolah TK gue. Setelah nge-drop gue di Cawang, My Oldman siap-siap cabut untuk urusan kerjaan ke luar pulau. Kalau gak salah ke Palembang. Naik pesawat tentunya.
That's it. Gue nangis kejer buat ikut My Oldman. Biasanya gue gak kaya gitu. Tapi karena takut banget pesawatnya jatuh kaya di film itu, gue mau ikut My Oldman. Logika gue emang aneh ya.
My Oldman marahin gue: karena gue nangis mau ikut. Padahal biasanya enggak. Gue yang ditahan sama ART nenek gue di Cawang, masih terus nangis waktu My Oldman akhirnya pergi juga, setelah sebelumnya marahin gue.
Beberapa belas (atau puluh?) tahun setelahnya. Gue menyadari perasaan yang mungkin dirasakan My Oldman saat itu. Mungkin di balik marah-marah dia ke gue waktu itu, dia juga sedih dan bingung. Takut ketinggalan pesawat lah, ngerasa gak bisa berbuat apa-apa karena itu memang kerjaan yang gak bisa ditinggalin, ngerasa bersalah karena gak menghabiskan waktu yang cukup bareng gue lah. Dan lain-lain. Dan lain-lain.
Gue pengen ikut sama My Oldman.
Itu juga yang pertama kali batin gue suarakan tanpa gue sadari, waktu gue ziarah ke makam My Oldman kemarin.
Gue pengen ikut sama My Oldman.
Tapi gak bisa.