Friday, September 04, 2015

Menulis dengan perasaan

Kapan sebaiknya kita menulis?
Kalau membaca karya-karya sastra, somehow gue ngerasa karya sastra, atau tulisan sastrawan, selalu penuh dengan emosi

Hari ini seperti hari juga kemarin
Tak lagi terbandingkan, antara nasib antara sepi
Kemudian rawan, jatuh di bumi
Lantas seperti kemarin-kemarin: matahari pagi
Seno Gumira - Yogya 1976

Mungkin kita harus menulis waktu kita penuh emosi? Jadi lebih gampang untuk menuangkan perasaan yang ada? Kaya dulu waktu kita naksir seseorang, dan mulai menulis surat (mungkin sekarang email - atau update Twitter? Path?); tulisan kita bisa 'lebih dirasa' lebih punya perasaan, yang ujung-ujungnya, jadi lebih enak dibaca.
(Jadi teringat surat 'thank you letter' yang gue buat beberapa tahun yang lalu waktu gue mengundurkan diri dari media tempat gue kerja. Itu, menurut gue, salah satu masterpiece gue. Banyak orang suka, terlihat dari banyak-nya reply buat surat itu. Dan, beberapa bulan kemudian, salah satu bos disana resign terus membuat surat yang serupa. "Tapi gak kaya yang lo buat sih. Kurang greget," kata temen gue. Kurang lebih.)
Seharusnya sih, kalau memang benar begitu, apa pun yang kita rasa sekarang seharusnya bisa memicu kita untuk menulis sesuatu. Marah, kesal, senang, penasaran, sedih. Semuanya perasaan kan?

No comments: