Thursday, January 30, 2025

Dipotong

Bingung karena mau denger apa pas lagi jalan (ini bener-bener jalan, literary pake kaki ya, olahraga kecil-kecilan), beberapa waktu yang lalu gue mulai mendengar beberapa podcast. Paling sering adalah podcast nya Raditya Dika.

Lalu gue coba denger podcast nya Helmy Yahya.

Buat yang seumuran gue, pasti tau julukan Helmy Yahya sebagai raja kuis: karena dia sempat memproduseri dan membawakan beberapa kuis di berbagai TV swasta. Jaman itu jumlah TV swasta masih bisa dihitung dengan 10 jari tangan. Helmy Yahya juga sempat jadi Direktur Utama TVRI.

Ternyata gue gak terlalu enjoy dengerin podcast Helmy Yahya, hanya karena persoalan sepele: dipotong-potong.

Tema-tema podcast Helmy Yahya sebenarnya menarik dan cukup berbobot, dengan narasumber yang beragam. Bayangin lo lagi asik-asiknya dengeri tema yang lagi diobrolin, tiba-tiba ditengah ritme yang lagi naik itu - dari intensitas diskusi dan obrolan - , ada suara Helmy Yahya: "Terima Kasih untuk menonton Helmy Yahya Bicara...."

Mind you: gue denger podcast ya, buat melihat podcast. Jadi hanya mengandalkan telinga untuk mencerna. Mood yang tadinya lagi naik karena penasaran atas hal-hal yang lagi diobrolin, langsung buyar.

Gue rasa ada segmen yang harus diperhatikan para podcaster ketika mereka sedang in action: mereka kadang mengabaikan para konsumen yang hanya mendengarkan podcast mereka, bukan sambil melihat. Dan proses akhir yang dipotong-potong itu cukup mengganggu.

Podcast ini kan sebenarnya meniru apa yang dulu lumayan lazim di lakukan di radio: talkshow. Dan sebagaimananya konsumen radio, mereka cukup mendengarkan apa yang disajikan oleh radio oleh pendengaran mereka: bagaimana suara yang keluar dari radio membuat 'theater of mind' di masing-masing benak pendengar radio.

Itu yang pertama.

Yang kedua adalah: celetukan.

Kadang-kadang kalau kita lagi ngobrol biasa dengan teman dalam suasana santai, menyeletuk dan menyela adalah hal yang lumrah dilakukan. Bahkan dalam kadar tertentu, itu bisa menambah kualitas interaksi obrolan kita dengan teman-teman kita.

Ini, berbeda jauh formatnya dengan talk show.

Dalam talkshow, hal-hal yang disampaikan dalam diskusi, mayoritas adalah untuk pendengar - sebagai pihak ketiga. Ketika salah satu pihak, baik pihak pertama sebagai MC/host atau pihak kedua sebagai narasumber, sedang beropini-berbicara, maka sedapat mungkin jangan diganggu, agar proses penyampaian informasi tidak terdistraksi.

Inilah mungkin salah satu ciri MC/host yang baik adalah mempunyai kadar ego yang cukup, tidak berlebihan. Karena terkadang ego membuat salah satu pihak menyela/menyeletuk dalam diskusi.

Helmy Yahya kerap melakukan ini -menyela/menyeletuk- dengan potongan-potongan informasi yang mungkin dimaksudkan untuk mendukung pendapat lawan bicaranya; tapi jadinya malah mendistraksi lawan bicaranya dan pendengar podcast.

Memang menjadi host/MC memang tidak gampang. Bahkan lebih lagi: membuat acara talkshow atau podcast yang baik jauh lebih sulit lagi.

Dulu, waktu masih kerja di radio, saya selalu melakukan briefing - meskipun sekilas - dengan host acara dan narasumber sebelum on air talkshow tentang topik yang akan dibahas. Ada 2 hal penting yang disampaikan dalam briefing ini: apa yang akan dibahas (termasuk latar belakang, dan pertanyaan yang sebaiknya diajukan) dan durasi dari talkshow (apakah itu 3 menit atau mungkin 1 jam siaran).

Sepertinya, di dunia digital instan ini beberapa hal abai dilakukan karena mengejar hal-hal lainnya diluar kualitas.

No comments: