Monday, November 17, 2003

Lebaran sudah di depan mata. Nuansa musim mudik sudah mulai terasa di kantor saya. Sudah sejak tiga hari terakhir, beberapa rekan kerja saya melakukan 'pendekatan' kepada teman saya yang biasa meliput isu-isu transportasi.
Ritual tahunan.
Bagi saya sendiri, saya merasa cukup beruntung tidak disibukan dengan pekerjaan ekstra itu pada saat saya masih meliput di transportasi. Segan rasanya memanfaatkan hubungan kerja untuk keperluan pribadi.
Tapi sebenarnya seberapa penting mudik bagi golongan profesional seperti saya?
Bagi saya pribadi, mudik tahun ini hanya sekedar liburan selama seminggu di kampung halaman. Tidak lebih dan tidak kurang. Kadar lebaran tentang silaturahmi dengan keluarga besar, tentang dilahirkan kembali sesuci bayi yang baru keluar dari rahim ibunya, tentang menjaga tali kekeluargaan dan segala tetek bengeknya bagi saya sudah berkurang jauh.
Dari kacamata saya sebagai orang biasa, saya melihat ada gejala di orang-orang sekitar saya, lebaran adalah pulang ke kampung halaman dengan mobil baru, kerudung dan baju koko baru, sepatu baru, bagi-bagi rejeki dengan sanak saudara di kampung halaman atau bahkan mungkin liburan di hotel berbintang.
Berusaha pulang kampung dengan keadaan yang wah agar bisa dianggap berhasil di perantauan. Tidak memperdulikan...misalnya tagihan kartu kredit yang membengkak atau berupaya dengan segala cara untuk mendapatkan uang lebaran...segala cara.
Drastis? Mungkin.
Padahal saya pikir, merasakan kenikmatan lebaran hanya bisa dirasakan di hati kita masing-masing. Bertemu dengan orang tua di kampung halaman melepas kerinduan. Merasakan kehangatan keluarga pada saat buka dan sahur bersama di hari-hari terakhir puasa. Atau mendengar kembali suara ibu yang menawar lauk pauk lebaran di pasar ("nggak salah nih nawarnya...kemurahan banget nih"). Atau bersenda-gurau dengan ibu dan saudara-saudara waktu menyiapkan ketupat dan teman-temannya.
Bukankah Allah SWT memerintahkan kita semua berpuasa agar bisa merasakan penderitaan kaum dhua'fa? Rekan-rekan kita yang kurang beruntung.
Apakah mereka merayakan lebaran dengan segala tetek bengek keduniawian?
Lebaran hanya bisa dirasakan oleh hati kita masing-masing.
Selain itu, jika ritual lebaran memang bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk memperkuat sendi-sendi terkecil negara, yaitu keluarga, rasa-rasanya kondisi Indonesia bisa lebih baik dari sekarang ini.

No comments: