Tuesday, August 27, 2013

My Oldman

Jadi disinilah gue: suara gelembung air yang mirip-mirip air mendidih, deruman kendaraan dari kejauhan, dan suara nafas beraturan dari My Oldman yang lagi tertidur.
My Oldman = bokap gue
Hari ini, My Oldman baru dioperasi. Kalau ditanya detil operasi apa, gue nggak tau. Denger-denger mirip keluhan Hernia, jadi ada sesuatu yang harus diangkat dari daerah selangkangan bokap gue. (there it goes a title of a good son....).
Sebenernya operasi ini termasuk operasi ringan, tapi mengingat umur My Oldman yang sudah gak terlalu muda dan tingkahnya yang nggak bisa dikasih tau, operasi ini meningkatkan level resiko-nya secara eksponensial buat My Oldman.
Sehari sebelum operasi, seharusnya dia istirahat dan siap-siap buat check in di rumah sakit, tapi, karena nggak bisa dikasih tau, dia lebih milih datang ke undangan resepsi. Duh.
Gue nggak bisa bilang hubungan gue sama My Oldman amat sangat baik; tapi juga nggak jelek-jelek amat. So so lah. Dalam batas-batas tertentu gue sadar bahwa gue nggak bisa memenuhi apa yang diharapkan dia terhadap anak laki-laki paling besarnya. Mungkin karena sindrom anak kedua, gue tumbuh jadi anak yang agak sedikit kurang peduli dengan keluarga. Dan gue bersyukur karena sepertinya My Oldman juga memahami anomali anak keduanya ini. Kadang-kadang.
Agak klise emang: tapi gue tumbuh menjadi seperti ini karena banyak campur tangan dari My Oldman. Beberapa ingatan masih melekat di pikiran gue saat gue tumbuh dan dibimbing oleh dia: ada yang menyenangkan, ada yang gak.
Gue inget waktu gue masih SD dan sakit, nggak tau kenapa gue jadi takut tidur sendirian: jadi malam itu gue sengaja nangis tersedu biar kedengeran dia, dan akhirnya My Oldman nemenin gue tidur.
Dia juga ngebuat gue supaya bangun pagi dan mengerjakan beberapa pekerjaan rumah sebelum gue dianter ke sekolah. Salah satunya cuci mobil. Gue inget banget betapa gue berharap kalau sinar matahari pagi gak terlalu nunjukin cemong di kaca mobil depan karena gue gak terlalu bersih nyuci mobil.
Hubungan gue sama My Oldman mungkin mencapai titik terendah waktu pas gue berusia belasan. Gue dengan diam-diam, selalu menyimpan kemarahan buat dia. Kalo sekarang dipikir-pikir, bingung juga ya kenapa gue bete banget sama My Oldman waktu usia belasan, pengaruh hormon mungkin ya.
Lucunya, gue merasa lebih deket sama My Oldman justru waktu gue mulai meninggalkan rumah, meninggalkan Bandung buat kerja di Jakarta. Ada saat-saat tertentu dimana gue sepertinya pengen lebih jadi pengangguran dan tinggal di Bandung, karena deket sama orang tua, daripada harus berjibaku di Jakarta. Tapi My Oldman ngingetin kalo gue laki-laki dan harus belajar buat hidup.
Beberapa tahun terakhir ini, gue ngerasa terlalu banyak perubahan yang terjadi dan sepertinya gue belum siap menjalani perubahan-perubahan itu, termasuk My Oldman. Rambutnya udah putih semua, dan lebih sering membuat kita khawatir dengan kondisi kesehatannya.
Gue masih tetep berharap kalo My Oldman itu seorang Bad-ass, orang yang tangguh. Tapi di sisi lain juga, gue nyadar kalau kita nggak bisa mendapatkan apa semuaa yang kita mau.
Gue cuman berharap kalo gue dikasih kekuatan batin dan kelegaan jiwa oleh Yang Maha Kuasa buat ngejalanin semuanya.

No comments: