Monday, April 22, 2019

Teroris dan Komunikasi

This is my two-cent on terrorism 

'Yah, kata Ayah teroris itu Islam bukan?'
Yaaa, teroris mah bukan agama dong. Jadi gue sontak jawab: 'Bukan laa.'
Gue jadi teringat sepenggal tulisan di sebuah platform media sosial: terorisme, keadilan, kemanusiaan tidak mengenal agama. Gue percaya di agama manapun selalu menjunjung keadilan dan kemanusiaan, serta menafikkan terorisme.
'Tapi itu kok banyak pemberitaan dan informasi yang berseliweran yang kurang lebih bilang begitu?'
'Yaaa itu sih tergantung media mana yang kita konsumsi.'
Sebagai orang yang berkecimpung di dunia media, gue kurang lebih tau gimana efek sebuah informasi yang disebar-luaskan oleh sebuah media, baik media konvensional/tradisional maupun media sosial. 
Di kalangan praktisi media gue sering denger yang namanya The Rule of Seven. Sebuah strategi manjur yang sering dipraktekan di ranah public relations atau marketing communication. 
Sering liat iklan TV yang diulang-ulang? Atau iklan pop up di detik.com yang itu lagi - itu lagi? Salahin si The Rule of Seven ini.
The Rule of Seven ini kurang lebih maknanya adalah orang-orang harus melihat atau terpapar dengan sebuah ide minimal 7 kali agar ide itu terpatri di benak mereka. 
Dengan kemajuan teknologi, The Rule of Seven ini semakin menggila: kita bisa liat sebuah iklan dari sebuah brand hampir dimana-mana: di KRL pas berangkat kerja, Billboard di mall, pop up banner di  website, YouTube...
Apalagi dengan kemajuan AI yang memicu batasan kita untuk memperoleh informasi utuh: lazim disebut Information Bubble. 
Ketika kita membaca sebuah berita/informasi pada perangkat elektronik yang tersambung dengan email atau akun media sosial kita, maka kita sudah terjebak dalam Information Bubble ini. 
Provider email atau media sosial gratisan bisa mencatat keyword tertentu yang suka kita search, jenis artikel yang suka kita baca, dan informasi pribadi lainnya yang bisa dimanfaatkan oleh pihak ketiga. Ini ada untungnya (kita jadi dimudahkan untuk mencari sesuatu hal yang sesuai dengan profil kita) tapi ada juga kerugiannya (Information Bubble, kita mungkin hanya memperoleh informasi setengah, bias, gak seluruhnya).
So, what's your take? Controlling the media, or the other way around?

No comments: